Tuesday, September 23, 2014

Saat Ia Menari - a translation

Cerita pendek ini adalah terjemahan bebas dari During the Dance karya Mark Lawrence, ditulis dengan izin pengarangnya. 

Ayah berhenti minum-minum di hari adik perempuanku lahir. Beliau memanggilnya malaikat, dan bir tak lagi mendekatinya sampai adikku meninggal. Ayah datang ke pemakaman sambil mabuk, menangis dan meraung, cukup keras untuk dua orangtua, cukup lantang untuk menutupi diamnya Mam. Pada akhirnya, orang-orang harus menahannya, atau beliau akan melompat ke kuburan. Bakal terlihat cukup konyol, seorang pria dewasa masuk ke dalam lubang sempit itu. Aku membayangkannya, beliau terjepit terbalik di liang lahat, kakinya bergerak di udara, dan tawa tahu-tahu menyerangku, begitu ganas sampai tenggorokanku sakit.

“Sssttt, Nak.” Paman Jim memegang bahuku. “Diam, Sammy.” 

“Tutup mulutnya.” Kata Bibi Grace. Bulat, brutal, dan marah.

Aku tak bisa berhenti, tentu saja. Histeria menangkapku, dan gelak memekik di sekujur tubuh.

Ayah, Mam, dan aku. Kami menjadi trio, dan dalam baju duka pinjaman kami, Ayah mengutuk Tuhan yang telah mengambil putrinya, aku yang masih terbahak sampai airmata menuruni pipiku, dan Mam bergerak sangat pelan akibat luka tak kasatmata di dalam dirinya, tiap otot beradu satu sama lain, dan tak ada suara keluar dari balik barisan giginya.

Me-me datang ke dunia ini lima tahun setelah aku. Ia datang di karpet yang sama, dalam ruangan yang sama. Kami hidup dalam kehidupan yang sama pula, tapi entah bagaimana hidupnya lebih dalam dan manis. Mam memanggilnya Martha, diambil dari nama depan Nenek Robbins, dan pendeta gereja St. Luke di Bethnal Green memercikkan air suci padanya supaya Tuhan juga mengenali namanya. Kupikir itu aneh, karena Tuhan tahu segalanya, dan karena tidak ada yang memanggil Martha setelah itu.

Mam menyebutnya sebuah berkah, serta belahan hatinya. Ayah memanggilnya malaikat. Beliau akan menimang-nimangnya, jam demi jam, ketika batubara membakar rendah perapian di hari pertama musim dingin. Beliau menjilati jarinya dan memelintir rambut adikku menjadi spiral hitam di dahinya, dan ia tetawa lalu mencoba meraih tangan beliau. Seiring berjalannya waktu adikku menamai dirinya sendiri, dengan kata pertamanya. Me-me.

Aku mengunjungi kamar itu lagi setelah kami menguburnya. Kamar tempat kami berempat tidur, dan sekarang bertiga. Aku duduk di atas karpet, kelabu, berjejakkan pola berlian di atas kain empuk yang kusam. Kami berdua dilahirkan di sini, aku merengek pada dunia, memberitahunya agar baik-baik padaku, kata Mam. Me-me lesu dan sunyi sampai Ayah berseru lantang, apa dia mati? Oh Yesus! Tapi dia terbatuk, dan membuka mata paling biru yang pernah ada.

Kupetik segumpal karpet itu dan mencoba membayangkan bagaimana pola awalnya, dulu sekali, dirajut, dijual dan terjual, terjual lagi, remuk menjadi debu di gang sempit. Hancur. Apakah Me-me juga akan hancur? Ia hanyalah sebuah pola sekarang. Sebentuk di dalam kepalaku. Sebuah penanda di sudut tempat hal-hal kecil diletakkan. Peti putih yang tak mampu Ayah beli. Ia akan kedinginan di sana, di bawah tanah liat London. Aku memikirkannya, sekarang ia sendirian, dalam kotak gelap itu, dan airmata pun jatuh.

Me-me berjalan seperti anak kecil, dan berbicara seperti anak kecil. Ia membawa matahari bersamanya, ke dalam gang-gang di East End. Sebagai anak miskin kau tidak pernah sadar kalau kau miskin, kampung kumuh adalah kampung kumuh. Itulah rumah. Itulah yang semestinya. Jadi aku tidak pernah merasa miskin. Tapi Me-me membuat kami merasa kaya. Ia senantiasa memberikan kami senyuman.

Seorang kakak seharusnya menghibur adiknya dengan cerita-cerita, tapi di rumah kami Me-me-lah yang mendongeng. Sejak ia bisa bicara, ia mengisahkan dunia yang tak mampu kulihat. Kami duduk di tangga depan rumah, menonton anak-anak bertelanjang kaki di jalan, dan penambang yang membawa karung batubara untuk siapa pun yang mampu membayarnya. Kami menonton burung-burung yang terbang, di garis terang langit antara atap-atap, kami menonton baju yang tengah dijemur, tapi selebihnya, Me-me akan menonton para penari, dan aku akan mendengarkannya.

Ia melihat para penari itu di mana-mana. Ia melihat mereka berdansa di ujung pagar, sepanjang selokan tua, di antara tali-tali jemuran. Ia memanggil mereka ‘Penari’, tapi kemudian ‘Malaikat’ karena kata Mam itu lebih pantas jika ia tak bisa berhenti membicarakannya. Ia sering melihat mereka sendirian, satu tarian satu waktu. Ia melihat sesosok gadis bergaun putih, berdansa di tangga depan rumah Mrs Jennings. Katanya gadis itu memiliki rambut serupa kaca, dan gaun yang berkilauan seperti gula. Ia menari di situ selama satu jam sebelum gelap, melompat dari satu tangga ke tangga yang lain, meskipun tangga itu lebih tinggi darinya. Dan kami menonton, atau Me-me lebih tepatnya, menonton dan bertepuk tangan, dan aku mendengarkannya, dan berusaha keras sampai terkadang berkhayal melihat kilauan gaun Malaikat itu saat ia berputar.

Esoknya seprai di jemuran Mrs Jennings bernoda merah, dan Mam bilang beliau baru saja memiliki bayi perempuan yang lucu. Ayah memberitahuku tentang bangau dan semak gooseberry, dan aku mengangguk dan berkata aku memercayainya. Namun aku tahu persis gadis bergaun putih-lah yang sudah membawa Sarah Jennings ke rumah itu kemarin malam.

“Dari mana asalnya para penari itu?” aku ingin tahu. “Dan kenapa mereka tidak bicara?”

“Mereka bicara, tahu.” Me-me merentangkan lengan mungilnya. “Mereka bicara seperti ini.” Ia berputar, setengah-anggun, setengah-canggung, karena ia bahkan belum empat tahun.

“Dari mana mereka berasal?” aku bertanya.

Aku memelankan suaraku karena Billy Evans baru saja datang dari ujung jalan. Ia segera berusia sepuluh tahun. Ia kurus, tapi jadi terlihat tinggi, dan kejam. Ia punya apel, dan perutku berbunyi begitu kulihat ia memakannya.

“Sebagian datang dari para orang.” Kata Me-me. “Dan sebagian tidak.”

Billy melewati kami. Ia tersenyum pada Me-me. Semua orang tersenyum padanya.

“Dari orang-orang?” kucoba untuk membayangkannya.

“Dari para orang.” Angguknya. “Waktu mereka membebaskannya.”

Aku melirik ke arah Billy Evans, yang sedang berjalan telanjang kaki di pinggiran lumpur. “Apa Billy Evans punya Penari juga?”

Ia mengangguk.

“Seperti apa Penarinya?” tanyaku.

“Sangat sedih.” Ujar Me-me.

“Kalau Penarimu seperti apa?”

“Dia seperti pelangi.” Me-me tersenyum sangat lebar sampai lesung pipitnya tampak.

“Apa aku juga punya Penari?” kutanya lagi.

Tapi ia malah menoleh. “Liat!” ia bertepuk tangan.

Dan aku melihat ke arahnya. “Apa?”

“Buanyak!” ia bertepuk tangan lagi. “Penari-penari biru.”

Kami menonton dan ia berbicara. Katanya mereka berlarian di sekeliling kami, cepat dan serius. Katanya mereka berwarna macam-macam biru, juga hijau, dan betapa mereka berdansa bersama dengan saling berputar, dan berputar.

Malam itu Sungai Thames banjir hingga ke tepian, dan kami harus pindah ke lantai atas sampai seminggu untuk menunggu Ayah membersihkan lumpur dari ruang tamu.

Kupikir saat itu adalah minggu yang basah, dengan lumpur lengket yang bau, juga hujan tak berkesudahan, yang membuat ia terbatuk. Batuk yang menyayat hatiku. Mam dan Ayah menjaganya selalu. Ayah senantiasa menggendongnya dan memutarnya dalam tarian. “Hei Me-me, kita menari biar batuknya pergi? Malaikat menari seperti ini, ya kan?” Dan ia terkikik serta mendorong beliau, “Bukan.” Tapi ia lalu terbatuk lagi, batuk darah, dan permainan pun selesai.

Me-me terkena demam, dan Ayah pergi memanggil dokter. Beliau bilang beliau akan mencuri kalau terpaksa. Pada akhirnya beliau tidak mencuri, banyak tetangga yang menyumbang untuk Me-me, satu penny dari sini, satu farthing dari sana, satu shilling dari Mrs Jennings.

Dokter pun datang, dan pergi. Seorang pria kecil dengan topi yang bakal kutertawakan, kalau saja Me-me tidak sakit. Ia memberikan obat yang pahit, itu saja. Kami berempat bergelung di kasur, dalam kegelapan, dan suara batuk, dan Mam menarik napas tiap kali mendengarnya.

Pagi harinya demam itu telah hilang, dan Me-me terbaring damai serta amat pucat. Ayah bilang itu pertanda bagus. Beliau pergi untuk mencari pekerjaan di sekitar dermaga, mungkin akan ada pemindahan barang, dan beliau dapat membelikan roti dan lemak bacon untuk Me-me. “Tidak ada yang seampuh lemak bacon untuk sakit dada.”

Mam pergi untuk menjadi buruh cuci orang kaya di penatu. Dan aku duduk bersama Me-me.

“Seperti apa Penariku?” kini ini adalah sebuah permainan. Aku selalu bertanya dan ia tak pernah menjawabnya.

Ia menengok kepadaku, berat, seolah kepalanya terbuat dari batu. “Kamu harus membebaskannya dulu, Sammy.”

“Caranya?” Apakah ada sesuatu yang salah? Ia tidak bilang apa-apa.

“Kamu harus membebaskannya. Sekarang, atau tidak sama sekali.” Ia seakan melihat langsung ke dalam diriku. “Dia seperti sekeping penny baru. Tembaga, dan sangat gesit. Sangat gesit.”

Aku belum pernah setakut ini, bahkan ketika Ayah masih senang mabuk-mabukkan. “Ayo kita main, Me-me. Aku bisa menggendongmu.”

Ia memalingkan wajahnya.

“Oh!” matanya membulat.

“Apa?”

“Aku melihat penari baru. Dia cantik sekali.”

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Aku selalu memandang dan tak pernah melihatnya. “Di mana?”

“Dia lagi di pinggir kasur, tahu. Dia sehitam batubara.” Me-me terkikik. “Dia tidak pakai gaun.”

Ruangan menjadi terasa beku dan aku tidak mau penari hitam itu berdansa di pinggir kasur Me-me.

“Suruh ia pergi.” Kataku.

“Oh, tapi tariannya indah sekali, Sammy. Dia menari… sangat indah.” Ia baru empat tahun, dan tak seharusnya ia punya kata-kata itu.

Kutatap matanya. Begitu besar dan pekat.

“Suruh ia pergi!” kulitku seolah dilapisi es.

Me-me mengangkat tangannya yang putih dan berputar di depanku. Untuk sesaat aku mendengar suara musik entah dari mana.

“Tidak!” Kupegang lengannya. Namun ia telah pergi, dan yang kupegangi menjadi lemas dan dingin.

Kampung kumuh itu kini tiada. Berganti menjadi ruko dan pabrik. Hancur seperti pola di karpet. Yang tersisa dari hari-hari lalu itu hanyalah Sarah Jennings, yang kunikahi, karena senyumnya, kepintarannya, dan gadis bergaun putih yang berdansa di depan rumahnya pada malam ia dilahirkan.

Kami pergi ke pemakaman, Sarah, aku, dan si kembar, Samuel dan Robert, dan Martha kecil dalam gendongan Sarah. Aku sudah memindahkan peti Me-me dari benaman lumpur gereja St. Luke. Aku tidak melihatnya, tapi kusuruh orang untuk melakukannya. Kau bisa menyuruh-nyuruh seperti itu kalau kau kaya. Kupindahkan ia ke Highbury, di atas bukit dengan pemandangan menakjubkan, dengan Mam di sebelah kiri dan Ayah di kanannya. Beliau pasti akan menyukainya.

Aku juga memberinya nisan baru, dan karena aku tidak punya kata-kata yang tepat untuknya, kutulis kata-kata dari Oscar Wilde, sebuah puisi yang dibuat untuk adik perempuannya yang juga meninggal terlalu muda, walaupun adiknya berambut pirang sedangkan Me-me berambut hitam. 

All her golden hair
Tarnished with rust
She that was young and fair
Fallen to dust.

Peace, peace, she cannot hear
Lyre or sonnet,
All my life is buried here,
Heap earth upon it. 

Sam dan Robert menggenggam tanganku satu-satu. Mereka tidak suka melihatku sedih.

“Bagaimana dia meninggal, Yah?” Tanya Sam.

Aku tidak menjawab. Aku tak bisa bicara.

Sarah yang memberitahu. Aku sudah menceritakan semuanya.

“Saat ia menari.”

Mereka meminta versi lebih panjangnya, namun Martha terlepas dari gendongan Sarah dan berlari ke arah makam. Ia berhenti di depan makam Me-me. Ia tertawa dan menunjuk-nunjuk.

“Orang-orang menari, Ayah. Menari!”

“Siapa yang menari, Sayang?” bisik Sarah lembut.

“Gadis pelangi.” Ia bertepuk tangan. “Dan pemuda tembaga. Dan mereka tertawa.”

No comments:

Post a Comment