Tuesday, October 20, 2015

Kambing & Hujan: Sebuah Bromance

Kalau dilihat dari takaran waktunya, postingan ini sudah pasti telat dua minggu. Tapi karena yang ingin saya bagi di sini adalah pengalaman pribadi saya ketika mengikuti acara ini, dan ilmu tidak pernah kedaluwarsa, jadi sah-sah saja, kan?

Cukup sudah pembelaannya. Di satu kesempatan yang menurut saya langka, yaitu Jabar Book Fair 2015, saya bersyukur bisa mengobrol dengan seorang penulis sugoii (bahasanya Nunu) yang karyanya saya kagumi, Mahfud Ikhwan. Bersama Klub Baca Bandung, saya berhasil mencuri sedikiiit pengetahuan tentang menulis (terutama saat menggarap Kambing & Hujan. Belum tahu? Cek di sini dan baca bukunya!) juga menjadi penulis dari beliau. Omong-omong, beliau termasuk tipe narasumber yang saya senangi, yang memberikan jawaban secara detail bukan terpatok pada template menstrim. Seperti apa? Ini contohnya:

Sebelumnya, foto dulu... ki-ka: Kang Ariel Seraphino, Mas Mahfud Ikhwan, saya

MENULIS DAN MENJADI PENULIS a la MAHFUD IKHWAN
Disarikan dari Book Talk Kambing & Hujan bersama Klub Baca Bandung

 "Sastra adalah bahasa yang dimengerti."
Setelah membacanya karyanya yang menyabet juara 1 Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2014, pertanyaan ini langsung terlintas: mengapa, yang katanya jebolan DKJ itu pasti 'nyastra', justru terasa sangat pop di sini? Mas Mahfud menjawabnya dengan indah. "Sastra akan mencapai puncak keindahannya ketika ia dimengerti, karena kita tidak mungkin melihat bunga di kegelapan." Menurut beliau, marak penulis muda yang merangkai kata-kata luar biasa cantik, tapi sayangnya membingungkan. Jadi, kalimat sulit bukan tolak ukur sastra sesungguhnya, tapi bagaimana bahasa bisa dijadikan alat komunikasi buah pikiran kita.

Dan, saya setuju banget!

"Dua kata untuk proses penulisan buku ini: putus-nyambung."
Kambing & Hujan ditulis selama kurang lebih 9 tahun. SEM-BI-LAN TA-HUN. Untuk akhirnya berbuah di tangan pembaca dengan cap pohon kelapa dan dua daun setengah melingkar di kavernya. Mas Mahfud bilang beliau justru tidak pernah membaca buku-buku DKJ sebelumnya, dan sudah memiliki ide Romeo-Juliet syariah ini sejak lama. Perjuangannya memberikan 'daging' ke kerangka yang sudah terbentuk di kepalanya itulah yang putus-nyambung. Kadang puluhan halaman langsung beres, lalu diseling menulis untuk majalah, lanjut lagi, mengedit naskah orang karena itulah pekerjaan beliau, merevisi naskah sendiri, dan akhirnya selesai.

Saya juga jadi tahu kalau K&H ini awalnya ditulis untuk ukhti-ukhti yang mendambakan akhi-akhi tampan berkat sampingan Mas Mahfud sebagai kontributor cerpen Majalah Ummi. Tapi ternyata bromance islami-lah yang lebih pas (dan Mas Mahfud mengambil istilah bromance itu loh, hehe. Prospek berhasil) dan saya bersyukur sekali. Karena Romeo berpeci dan Juliet berhijab itu bukan bacaan saya banget, malah bikin tambah ngimpi. Heuh.

Tapi bromance? Karena itulah saya baca Kambing & Hujan!

Oh ya, ada yang lucu. Beberapa kali saya, Mas Ariel, Mbak Ika, dan teman-teman dari Klub Baca memuji terang-terangan karya beliau itu (terutama memang kami bertiga yang kelihatan banget antusiasnya, dan terutama saya yang shamelessly fangirling, maaf Mas Anda harus punya fan norak kayak saya) dan Mas Mahfud cuma menimpali, "Memangnya DKJ se-prestise itu?" ditambah gayanya yang santai dan kocak. Terus, kami 'nyolot.'

Ya, mungkin begitulah padi yang matang dan berisi. Makin merunduk.

Waktu di Kantinnasion, sesi dua bincang-bincang. Yang sedang merunduk itu sahabat saya, Nunu, tukang mencatat bersertifikasi nan terpercaya.

"Untuk memperkaya bahasa, cobalah menengok ke karya lama alih-alih bahasa asing."
JLEB. JLEBJLEBJLEB. Kekhawatiran saya seolah dijawab beliau. Jujur saja, saya mulai tak nyaman dengan tren 'gaya bahasa terjemahan' apalagi saya sendiri mengalami kalau ada beberapa diksi yang susah saya utarakan dengan Bahasa. Sempat saya melirik Bahasa Italia sebagai referensi, karena mereka pun sangat menghargai sastra, siapa tahu menemukan istilah menarik yang bisa saya adaptasi. Dan sepertinya ketika Mas Mahfud tahu saya mengajar Bahasa Inggris, muka beliau menunjukkan tidak begitu terkesan (apanya juga yang bisa bikin terkesan, heh?)

Lalu beliau memberikan solusi ini: sastra lama. Saya harus menengok catatannya Nunu dulu karena dia menulis judul-judul dan pengarang yang Mas Mahfud sebutkan. Kesalnya, setelah mengucapkan buku-buku favoritnya, beliau menoleh ke saya dan saya membalasnya dengan senyum akting. Intinya adalah jika kita sudah mentok dengan kalimat yang itu-itu saja, coba baca buku Indonesia terbitan 30 tahun sebelum kita lahir. Di sana, terdapat kekayaan yang makin menambah khasanah tentang bahasa yang dimengerti. Saya harus segera mencobanya.

"Buatlah potret sebuah kejadian dan tulis apa saja yang ada di sana, tapi buatlah agar orang yang tidak pernah berada di situ bisa merasakannya dengan baik."
Itu tanggapan Mas Mahfud soal gaya menulisnya yang detail. Beliau juga bilang, ada yang suka dengan itu, ada yang tidak, namun yang penting bagaimana kita sebagai penulisnya--nyamannya di mana. Mas Mahfud mengaku beliau paling nyaman menulis detail karena beliau terinspirasi dengan karya-karya lama (panggil Nunu, apa judulnya aku lupa?) yang memotret kejadian dengan sederhana dan tenang, tapi penuh. Juga, menambah halaman.

Buat saya, penggambaran Desa Centong saat Ramadan menjadi salah satu bagian favorit selain teknik dialog yang digunakan untuk percakapan Is dan Mat. Bicara soal teknik, ada satu lagi yang beliau bagi dan saya pun sepakat dengan hal ini.
"Semua penulis ingin mengubah dunia. Dan semua penulis gagal melakukannya."
Kutipan itu langsung jadi QOTD saya. Habis itu pula semua orang tertawa. Oh, ini beliau utarakan di acara kedua KBB yaitu di Kantinnasion Kedai The Panas Dalam yang berlangsung jam 7 malamnya (di Jabar Book Fair mulai dari jam 4 sore). Kalau dilihat-lihat, rasanya Mas Mahfud memang punya tujuan lebih besar dari sekadar mengarang cerita damainya NU-Muhammadiyah. Salah seorang penonton Jabar Book Fair juga menanyakan hal itu.

Tapi kenyataannya adalah, mau bersikap seadil apa pun dengan kedua tokohnya (sampai menetapkan jumlah halaman sama agar tidak tampak memihak), Mas Mahfud menyelesaikan K&H dengan mengalir. Buktinya juga, yang tadinya mau romance, eh jadi bromance. 'Mengubah dunia' dengan menyeimbangkan sudut pandang Islam tradisional dan modern nyatanya gagal beliau lakukan. Ya, walaupun akhirnya dapat nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa.

Bagaimanapun, kerja keras tak akan mengkhianati (JKT48 banget, ya. Salahin adik saya).

"Menulislah dengan hati yang senang. Teruslah menulis."
Agaknya ini jawaban yang paling pasaran dari Mas Mahfud. Saya bertanya ini di penghujung acara mengenai 'tips untuk penulis pemula.' Meskipun memang ada benarnya juga. Hanya saja, buat yang satu ini kita sendirilah yang harus mengalaminya langsung. Hanya kita yang tahu bagaimana menjalaninya dengan cara terbaik dan paling pas.

Menulis dengan senang ini tentunya sudah dipraktikkan Mas Mahfud. Beliau bercerita kalau selama K&H digodok beliau harus menyambung hidup dengan menulis--terdengar canggih, ya?--namun kenyataannya tak semudah itu. "Ada lah, buat beli mie sama telur." begitu selorohnya. Saya pun yakin pasti ada masa kelam di antara sembilan tahun penulisan itu, yang membuat beliau tak bisa menulis dengan senang, namun beliau berusaha dan bisa. Tapi nggak tahu juga ding, saya kan suka sok-sok cenayang. Hehe. Maafkan.

Terima kasih sudah datang!

Sekian rangkuman acara bincang-bincang bersama sosok hebat putra Indonesia ini. Suatu kehormatan bisa mendengarkan cerita beliau dan senang sekali bisa berkumpul dengan teman-teman penikmat bacaan tanggal 4 Oktober kemarin. Mudah-mudahan yang sedikiiit ini bisa jadi banyak, dalam hal kebaikan tentunya. Sekarang waktunya kita kembali ke tulisan kita, tangan di tuts, senyum di wajah, semangat di hati.

*terima kasih Mas Udin, Kang Ariel, dan Nunu untuk foto-fotonya

2 comments:

  1. "Menulislah dengan hati yang senang. Teruslah menulis."

    kalimat yang setama dengan itu, sering saya denger.. sempet bosan dan nganggap 'ga ada mantar lain apa?"

    tapi, kalau yang ngomong itu adalah mereka yang sudah mengalaminya, saya (diem-diem) jadi kepikiran juga "ga mungkin kalimat itu keliru, kalau banyak yang megangnya"

    sampe sekarang belum dapet bukunya euy.. yang 28 detik juga belum.. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beli aja di Katalis Book Store *colek Kang Ariel buat nagih komisinya hehe*

      Setuju. Mungkin memang harus dialami dulu ya, baru bisa mengerti maksud kalimat-kalimat yang kita pikir klise. Dan kalau itu pasaran, berarti banyak orang yang pernah mengalami termasuk kita, siapa tahu?

      Delete