Friday, June 24, 2016

Faith (28 Detik's Side Story)

Untuk Dinta

Melihat halaman teras rumah antik itu lewat jendela kedai di sampingnya seperti memandangi secarik foto lama bernuansa sepia. Bebatuan di lantai terlihat keemasan karena sinar senja. Taman depan yang ditumbuhi rumput, semak, dan mawar hutan berkilauan terbasuh cahaya. Pipi Rohan pun tampak bersemu, tangannya menyentuh batang pohon mawar dan ujung jarinya menekan-nekan pelan pada duri.

Candu keluar dari kedai melewatiku, kemudian belok kanan sedikit untuk menghampiri Rohan. "Kamu ngapain?" tanyanya kaget campur heran. "Tajam loh, itu."

"Memang." Rohan menoleh, tersenyum. Tangan satunya ternyata sedang mengusap perutnya yang sedikit membulat dengan gerakan melingkar. "Ada yang penasaran gimana rasanya."

Aku tertawa. Pasti Candu juga sedang berpikir sepertiku, bagaimana Rohan bisa tahu keinginan makhluk yang bahkan organnya belum sempurna terbentuk. Barista itu menggaruk kepalanya, sepertinya sambil tersenyum—karena ia berdiri membelakangiku—tapi aku tahu kerutan dalam sedang terbentuk di ujung bibirnya. Rahangnya jadi lebih tegas dan ditumbuhi rambut kecil, berbaris rapi sepanjang garis wajahnya. Rohan ikut terkekeh. Angin menyapu rambutnya yang sebahu, tangannya kembali menyelipkan helai yang menutupi wajah ke belakang telinga. Badannya tetap semungil lima tahun lalu. Hanya perutnya yang berubah.

Aku lanjut mengintip dari balik jendela berdekorasi tipografi retro Javascotia ini. Di sini, meja dan kursi kayu tampak lebih gelap karena lampu belum dinyalakan. Dindingnya putih, sama seperti rumah di sebelah, karena sejatinya tempat ini dulunya berfungsi sebagai garasi—setidaknya setelah kedai orangtua Candu tutup, karena pada akhirnya ia membukanya lagi dengan nama berbeda.

"Kamu udah minum susu?" tanya Candu seraya mengambil duduk di sebelah Rohan. Mereka berdua masih menghadap rumpun mawar hutan yang mekar merah keunguan.

Rohan mengangguk. "Tenang, mualnya udah nggak separah kemarin."

Tingkah Candu mendadak antusias. "Kalau dikasih kopi, kira-kira boleh, nggak?"

"Saya baca justru bahaya kalau minum kopi. Gimana sih, kamu?"

"Eh, nggak lihat yang di sini? Produk konsumsi kopi, tahu!" Candu memamerkan lengannya seolah ada otot pelaut di sana. "Buktinya saya bisa lahir sehat, berbakat, dan tampan."

Rohan berlagak ingin muntah. "Mualnya balik lagi, nih. Gara-gara kamu."

Mereka berbagi tawa sejenak, lalu perlahan hening. Tangan Candu menangkup tangan Rohan, kemudian menggamitnya, menautkan jemarinya. Mereka memang tak banyak mengumbar kemesraan, sehingga gerakan sekecil apa pun dirasa lebih bermakna dari kelihatannya. Udara seakan berganti di sekeliling mereka, menjadi lebih sendu, bisu, membawa hangat pergi.

Rohan ikut mengeratkan pegangannya. Kopi bertemu susu. Cappuccino. Vietnam drip. Latte.

Aku mengenali gestur itu. Mereka melakukannya ketika salah satu dari mereka akan mengabarkan berita buruk. Dari eratnya genggaman, aku menduga kabar itu datang dari Candu. Rohan juga merasakannya, terlihat dari tangan satunya yang meremas rok.

Betapa keceriaan bisa berubah kaku dalam sekejap hanya dengan sentuhan.

"Saya sudah pikirkan ini dari kemarin. Pertimbangannya matang dan rasional." Suara Candu berubah lebih berat, lebih serius. "Belum ada pilihan yang lebih baik sejauh ini."

"I don't like this," gumam Rohan buru-buru, seolah menyangkal jika kecurigaannya terbukti.

"Kenapa? Kamu nggak mau ada perubahan di rumah ini? Di diri kita? Sudah saatnya kita membicarakan ini, Han. Mau tidak mau. Lihat situasinya sekarang."

"Justru karena situasinya begini," balas Rohan tegas. "Karena saya tahu apa yang kamu pikirkan."

Sunyi. Perlahan, bayangan mereka mulai memanjang dan menghitam. Candu menghela napas, Rohan menghela napas. Seakan keduanya menggambarkan hanya Tuhan yang tahu berapa kali mereka berdebat dengan tema yang sama, dan selalu menemui jalan buntu yang sama pula.

"Kita nggak bisa menampik. Sekarang orang-orang lebih suka olahan minuman lain ketimbang kopi. Kafe yang interiornya menjual saja sudah terlalu banyak pesaingnya. Padahal mereka melayani seduh mesin. Kita, yang cuma menawarkan manual, bisa apa?" Candu merentangkan tangannya.

Candu benar. Aku di sini semacam patung kucing emas beraksara Kanji yang tangannya bergerak-gerak. Pajangan. Candu mengonsep kedainya sebagai galeri seduh, hanya dengan alat-alat manual, dan kopi yang lebih unik dan terpelosok. Pasar yang disasarnya sangat spesifik, idealis. Bukan untuk yang ingin mengerjakan tugas atau berkumpul dengan rekan sambil memanfaatkan wifi gratis.

"Kita bisa, Kak." Kacamata Rohan dan sinar mentari memburamkan pandanganku pada matanya. "Kita juga belum lama buka. Masih ada banyak waktu dan ruang untuk berkembang."

"Masalahnya bukan itu," desak Candu.

"Lalu apa?"

"Kamu tahu sendiri."

"Tahu apa? Yang saya tahu, selama ini nggak pernah ada masalah."

Candu termenung. "Kamu serius?"

"Ya." Rohan menjawab. "Ya! Sekarang menurut kamu, apa masalahnya?"

"Hidup, Han!" Tiba-tiba saja nada Candu meninggi, dan mata Rohan melebar seketika sebagai responsnya. Aku sampai tersentak ke belakang, jika aku punya kaki. "Hidup yang nggak punya banyak waktu buat kita. Nggak kerasa kita bakal bertiga, dan saya harus penuhi semua kebutuhan kita, sedangkan kamu sudah rela berhenti bekerja demi keluarga dan..." Candu menarik napas. Panjang, lama. Tidak rela. Tapi ia tahu ia harus mengatakan ini karena inilah yang sebenarnya terjadi. "Nggak mungkin dengan Javascotia sendiri saja bisa bertahan."

Aku menangkap kemarahan pada keduanya, tetapi berbeda. Candu frustrasi, jelas, karena aku khatam raut wajah itu. Tunggu, Rohan tidak marah, dia hanya... kecewa.

"Don't you dare quitting your dreams." Rohan menunjuk seraya berdiri.

Candu mendekati Rohan, "I'm just trying to be realistic, Love. Can't you see it?" sahutnya tak kalah sengit.

"Saya tidak setuju. Saya tidak mau. Rencana apa yang kamu punya jika itu terjadi, lagi pula?"

"Melamar kerja. Di pabrik Uwa Hadi. Tawarannya memang sudah lama, tapi saya yakin beliau tetap menerima dengan senang hati. Saya keponakan kesayangannya."

"Oh, and then slaving yourself to a job you don't even like?" cibir Rohan. "Kalau begitu, ke mana passion kamu sama kopi? Mana buktinya? Saya tahu bukan itu alasan kamu—"

"Kopi masih menempati hati saya. Itu nggak bisa ditawar lagi." meski pelan, pengucapannya yang berjeda menegaskan maksud Candu. "Tapi di hati saya juga ada kamu, ada dia." Candu memegang perut Rohan. "Saya janji akan kembali ke Javascotia seperti saya kembali ke KopiKasep. Tapi sebelum itu, saya mau membahagiakan kamu dulu, mencukupkan hidup kita..."

Ketika tangan Candu bergerak untuk mengelus pipi Rohan, air mata sudah menurun satu-satu di sana. Kacamatanya dilepas dan terkait di jarinya begitu saja. Tangan Candu masih terdiam di udara. Terkejut, pastinya. Ekspresinya turut menggambarkan demikian.

"I know that's not your primary reason. Sampai kapan kamu harus merasa begini, Kak? Kamu pasti memutuskan itu karena alasan yang sama dengan dua tahun lalu." Rohan sesenggukan sejenak, mengelap wajahnya, dan melanjutkan. "Saya masih ingat ketika kamu mengantar saya pulang di satu hari, dan esoknya kamu bilang kamu tak pantas buat saya karena gaya hidup keluarga saya. Lalu ketika kamu nyaris membatalkan rencana jangka panjang kita, karena termakan kata-kata orang bahwa materi dan latar belakang kita tidak cocok. Now, let's see. We survived temporary break-up. We survived the wedding. Apa kita harus menyerah sekarang?"

Pundak Candu menurun, kepalanya tertunduk hingga poninya menutupi mata. Ia mungkin terlalu sulit berkata apa pun saking tepatnya perkataan Rohan. Hidup, kehidupan, rencana-rencana, aku sudah mendengar darinya sejak lama. Namun, itu saat Candu masih sendiri. Sekarang, waktunya ia bersikap lebih. Dan kini, dia masih mempertimbangkan kemampuannya mengambil keputusan.

Dan semua memori yang Rohan sebutkan tadi, sebetulnya amat menyakitkan di hati Candu. Itu adalah masa-masa terberat mereka bahkan sebelum bersatu. Mengingatnya kembali barangkali menyadarkannya, bahwa mereka bukan sembarang barista dan pengunjung kedai yang datang kemudian jatuh cinta—mereka memperjuangkannya.

Rohan memegang kedua tangan Candu, melihat ke dalam matanya. "Bukan saatnya lagi kamu minder atau apa pun itu. Please. Sejauh ini, lima bulan tinggal bersama, kamu terbukti membahagiakan saya dengan kerja keras kamu sendiri. Ever since I met you, I always have that faith."

Kemudian Candu mendongak, mendapati seraut wajah yang tersenyum. Tidak ada yang bisa mengalahkan manisnya Rohan yang tersenyum. Semakin ia dewasa, semakin ia memancarkan pesonanya. Aku sendiri tak percaya, namun lama-lama aku juga jatuh hati dibuatnya. Ia begitu berbeda dengan pribadi yang kukenal di tahun-tahun pertama.

Candu tak suka menunggu lama untuk momen berpelukan, jadi begitu kurasakan tensi khas itu, aku bisa menebak Candu pasti langsung merangkul Rohan dan membenamkan wajah di rambutnya. Mereka saling berbagi perasaan yang tak mungkin dialami benda mati sepertiku, dan aku pun tak paham mengapa hanya dengan bersentuhan segalanya menjadi lebih baik, tapi aku sudah melihat banyak buktinya dan kubiarkan diriku sendiri memercayai hal itu.

Mungkin, inilah salah satu keajaiban dari makhluk hidup.

Langit mulai sewarna mawar hutan di taman—memerah dengan semburat ungu—ketika Rohan melonggarkan pelukannya. Hidungnya masih menempel di kaus Candu. Ia menghirupnya dahulu kemudian mendongak pelan. Matanya seketika melihat ke arahku. "Simon."

Seketika saja, aku punya firasat baik soal ini.

"Oh," Candu memutar tubuhnya dan ikut memandang. Mereka berdua betul-betul menatapku selama beberapa detik yang lama, kemudian Candu memulai lagi, "Hadiah pernikahan paling unik."

"Pak Jac memang kelewat baik." Rohan sesenggukan lagi, namun diiringi tawa kecil.

"Porta filter-nya udah bernoda, tuasnya juga sering macet. Kadang kalau diset apa, keluarnya apa." Candu berkacak pinggang. "Kita ini udah tua ya, Han?"

"Kamu aja kali," dipakainya lagi kacamatanya. "Tapi masih bisa diperbaiki, kan?"

"Bisa, sih. Masih bagus kok kalau mau bikin double shot sesekali."

Ada percikan instan kala pandangan mereka bertemu, seperti dinyalakan saklar. Sebuah ide. Mereka bergantian melihatku, kemudian pada satu sama lain, memperhatikanku lagi--kepala Rohan bahkan sampai miring--dan berhadapan lagi. Saat itulah percikan mereka menyerangku.

Sejak dari KopiKasep, aku pensiun. Bebas tugas. Kondisiku tak cukup baik untuk menjalankan sebuah kedai kopi yang beroperasi penuh, plus Candu yang memiliki impian lain untuk kedainya. Dan sejak itu pula aku menjadi maneko cat yang tak begitu manjur. Anehnya, aku tak lagi merasa terabaikan atau tak dibutuhkan. Mungkin ini saatnya Candu dan aku sama-sama istirahat. Kami sudah melalui banyak hal bersama, dan itu indah, dan aku tak akan melupakannya.

Pada akhirnya, aku menerima kenyataan bahwa memakaiku bukan lagi cara barista berprestasi, cerdas, ambisius, dan sedikit terlalu percaya diri itu untuk bahagia. Namun, ada satu cara lain untuk membahagiakan Candu dan keluarga kecilnya.

"Pak Jac dan KopiKasep nggak akan marah kan, kalau kita jual Simon?" tanya Rohan.

"KopiKasep sekarang dipegang Satrya, dia pasti nyantai." Candu menjawab enteng. "Mentang-mentang udah naik jabatan, langsung dibeli tuh, mesin yang lebih bagus."

"Tapi sebelumnya harus diperbaiki dulu. Dikasih catatan umurnya sudah berapa, lebih baik dipakai untuk skala apa, dan ceritakan juga perjuangan dia mengantar kamu ke NBT."

Aku senang pemikiran mereka sama denganku! Ini bisa jadi satu langkah untuk Javascotia ke depannya. Mungkin kedai ini tidak akan tampil terlalu muram akibat menuruti penampilanku yang lawas. Mungkin Rohan akan menambah beberapa pernik dan mengubah strategi serta memasarkan lebih gencar agar menemui lebih banyak penikmat. Kopi yang dibuat Candu sudah dipastikan yang terbaik, sehingga tinggal dibutuhkan jalan untuk mempertemukannya dengan para peminum setia.

Semangat khas itu kembali. Tidak sepenuhnya, memang, tapi perlahan bukanlah awal yang buruk. Seperti senja di depan mereka, keputusan ini menjadi final yang indah. Aku menutup mata tak kasat mataku yang memiliki kelopak tak kasat mata pula, mencoba menyimpan memori dari pertama mengenal Candu hingga akhir nanti aku berhadapan dengannya. Sungguh sebuah kehormatan bisa membantu seseorang tumbuh dan berkembang, apalagi jika seseorang itu sehebat ia.

Semoga Rohan juga senantiasa membuatnya bahagia, menjadi kopi dan raspberry iced tea bagi masing-masing-masing.

Mereka berdua duduk lagi di kursi rotan teras depan rumah mereka. Kepala Rohan bersandar di bahu Candu, dan tangan Candu mengusapnya lembut.

"Tapi serius Pak Jac nggak akan marah?" Rohan memastikan.

"Yah... beliau bakal lebih marah kalau saya balik ke KopiKasep. Begitu tahu kita bangun Javascotia, saya langsung di-black list. Disuruh urus usaha kita sendiri." Candu menimpali.

Dan Rohan, wanita cantik di sebelahnya, calon ibu dari anaknya, lantas tertawa kecil. "See, I told you." Ia mengecup pipi Candu. "We can find a way. And we can make it."

No comments:

Post a Comment